Mereka Adalah Rumah.
Aku bukanlah Ummah terbaik, dan takkan pernah bisa mendapatkan gelar itu. Sungguh... sulit sekali rasanya. Tapi aku mencoba dan terus mencoba.
Pun aku bukanlah istri terbaik di dunia ini, karena aku tahu aku banyak kekurangan. Terlepas dari itu, aku selalu berusaha untuk memberikan yang aku bisa. Begitu pula dengan harapanku. Tentu aku berharap agar anak-anakku tumbuh menjadi anak sholeh dan sholehah yang berbakti dan bermanfaat. Rasanya setiap orangtua memiliki keinginan tersebut, yah? Segala daya upaya dikerahkan sedemikian rupa. Tulang dibanting begitu rupa bekerja. Tanpa henti, demi mereka. Tak sadar... ada hal yang tak bisa dipungkiri.
Bahwa aku, hanyalah hamba yang lemah dengan segala usaha. Yang hanya bisa mengirim jutaan doa. Untuk mengiringi segenap upaya. Maka jika aku dapat menuliskan doa, izinkan aku untuk mengukirnya ditengah ketidak sanggupanku.
"Ya Allah, Engkau mengetahui segala kekurangan dan kekhilafanku. Terkadang lalai dan lupa. Maka, didiklah dan jagalah mereka untukku, ya Allah. Agar selalu berada di jalanMu."Aamiin.
Semua ini, untuk mereka... yang kusebut rumah.
buya, aku pernah mendengar bahwa Keberhasilan seorang laki-laki adalah ketika anak perempuannya mencari jodoh serupa ayahnya. Mencari pendamping yang tepat adalah kewajiban kita, menjadi ibu dan ayah terbaik adalah hak mereka. Kita Tidak Sedang (Dan Takkan) Berlomba. Aku harus lebih cepat, karena aku kompeten. Aku harus terdahulu, karena aku lebih tahu. Apakah kita berpikir ini sebuah perlombaan ?Bukan, ini bukanlah sebuah perlombaan. Siapa cepat dia menang. Bukan itu. Kita tidak sedang berlomba. Hanyalah kita sedang berjalan mencari arah terbaik yang akan ditempuh. Jika kau mengatakan bahwa rumah tangga akan selalu baik-baik saja, lantas bagaimana caranya kau tahu tangga itu tidak licin dan menanjak tajam? Atau anak tangga yang ditapaki sedikit sulit, meliuk, dan bahkan terjal. Bisa kau pastikan hal itu tak ada?
Lantas, tak berarti kau merasa selalu menang dan terdahulu, kan? Ada kalanya kau di depan. Pun masanya kau berada di belakang. Di belakang tak melulu berarti kalah. Di depan tak selalu menang. Menyelaraskan langkah agar beriringan, kurasa itu yang pantas. Sehingga kamu berada di belakangku untuk mendukungku, dan akupun akan melakukan sebaliknya. Mengalahkan ego yang mendominasi, agar tak menjadi gebunya emosi. Memperlambat langkah ketika terlalu sulit, memastikan sampai tujuan dengan selamat. Mempercepat langkah ketika tahu pasti, tujuan telah dicapai. Agar dapat saling memahami dan mengerti. Menyatukan dua kepala untuk satu ide kapal baru. Mengarungi rumah tangga ikuti alur. Membaca peta bersama, selaraskan niat. Karena kita tidak sedang berlomba. Dan takkan menjadi perlombaan.
Buyanya Shabira, Suamiku, semoga hati kita memiliki samudera kesabaran dan samudera kesyukuran. Mungkin luasnya cukup sedemikian, sebagai manusia. Mungkin dalamnya cukup sedemikian, sebagai hamba.Kalau ada setitik noda jatuh di atasnya, akan lenyap seketika. Kalau ada badai di salah satu lautnya, tidak akan mampu membuat gejolak di dasar samuderanya. Semoga kesabaran seluas samudera cukup untuk menjadi bekal. Dan rasa syukur dengan luas yang sama, cukup untuk menjadi senjata. Meski kita tahu, ujian itu seluas alam semesta, tidak akan berhenti sampai kita dipanggil-Nya. I love you ❤️