My Blog Viewers :)

Kamis, 22 Mei 2014

Pendidikan Kependudukan di Indonesia



Pengaruh Pertambahan Penduduk terhadap Kehidupan Kualitas Hidup Manusia, Kehidupan Sosial, Budaya dan Agama


Oleh : Setyawati Prihatini

A.           Pendahuluan
Sisi lain dari kemajuan zaman dan teknologi informasi yang menjulang langit, justru membawa konsekuensi tersendiri. Seiring dengan itu, pengetahuan kita tentang hal-hal yang tak masuk akal pun kian muncul ke permukaan. Diantaranya, fenomena perkawinan di bawah umur (pernikahan dini), ternyata masih marak terjadi.  Apapun pemantiknya,  nikah di bawah umur adalah fenomena sosial budaya yang tidak masuk akal karena pelaku sekaligus korban, sesuai peraturan perundangan masih dalam kategori usia anak-anak.  Sekaligus melestarikan pelanggaran hak untuk mendapatkan pendidikan, berpikir dan berekspresi, hak untuk menyatakan pendapat dan didengar pendapatnya, hak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan teman sebaya, bermain dan berkreasi. 

Anak-anak sebagai Korban sekaligus Pelaku pada Pernikahan Dini.
Anak-anak seringkali terkurung berbagai justifikasi perkawinan bawah umur yang datang dari orangtua, tokoh agama, tokoh masyarakat adat, dan tak jarang juga atas inisiatif pelaku sendiri.  Orang tua bisa berdalih meringankan beban tanggungjawab ekonomi yang mendorong terjadinya pernikahan tersebut.  Ketiadaan kesadaran hukum yang kemudian mentradisi juga menjadikan pernikahan di bawah umur suatu solusi. Pergaulan bebas yang berbuah kehamilan di luar nikah, misalnya, menjadikan perkawinan sebagai cara untuk menutup aib keluarga.



Menunda Usia Pernikahan agar Anak dapat mengenyam Pendidikan yang Lebih Tinggi
Padahal umur perkawinan pertama merupakan salah satu indikator kependudukan terkait dengan fertilitas. Umur perkawinan pertama adalah indikator dimulainya seorang perempuan berpeluang untuk hamil dan melahirkan.  Dengan demikian perkawinan pada usia muda akan mempunyai rentang waktu untuk hamil dan melahirkan dalam waktu yang lebih panjang dibandingkan pada perempuan yang menikah pada usia yang lebih tua.  Dari berbagai penelitian juga didapatkan bahwa terdapat korelasi antara tingkat pendidikan dan usia saat menikah, semakin tinggi usia anak saat menikah maka pendidikan anak relatif lebih tinggi dan demikian pula sebaliknya. Pernikahan di usia dini menurut penelitian UNICEF tahun 2006 tampaknya berhubungan pula dengan derajat pendidikan yang rendah. Menunda usia pernikahan merupakan salah satu cara agar anak dapat mengenyam pendidikan lebih tinggi.

B.           Isi



Berawal dari percakapan ringan tak sengaja dengan seorang perempuan yang ternyata usianya jauh lebih muda dari dugaan saya, terbuka fakta yang membuat saya sempat terdiam. Di zaman yang sudah modern saat ini terdapat realita miris yang terjadi pada perempuan-perempuan di daerah yaitu menjadi janda di usia yang masih sangat dini.  Sebut saja Eneng, usianya yang baru menginjak 20 tahun sudah memiliki seorang anak berusia 7 tahun dan saat ini sedang dalam proses bercerai dari suaminya yang berusia 25 tahun. Yang membuat saya tercengang, dia tidak terbebani dengan stigma statusnya nanti menjadi janda.

Pernikahan dini secara umum berarti pernikahan yang dilakukan pada usia belia di bawah batas usia minimum melakukan perkawinan yang telah ditentukan undang-undang.  Pernikahan dini merupakan salah satu fenomena sosial yang banyak terjadi diberbagai tempat di tanah air, baik di perkotaan maupun di perdesaan.  Berdasarkan data Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN),  rasio pernikahan dini di perkotaan pada 2012 adalah 26 dari 1.000 perkawinan. Pada 2013, rasionya naik menjadi 32 dari 1.000 pernikahan. Sementara itu, di perdesaan rasio pernikahan usia dini turun dari 72 per 1.000 pernikahan pada 2012 menjadi 67 per 1.000 pernikahan pada 2013.  Menurut Diskominfo Provinsi Kaltim pada tahun 2014 provinsi dengan usia perkawinan kurang dari 15 tahun tertinggi adalah Kalimantan Selatan 9%, Jawa barat 7,5% serta Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah masing-masing 7% dan Banten 6,5%. Untuk usia 15-19 tahun, Kalteng 52,1% dan Jawa Barat 50,2%. Tertinggi berikutnya Kalsel 48,4%, Bangka Belitung 47,9% dan Sulawesi Tengah 46,3%.


Persentase Perempuan Usia 10-59 tahun menurut Umur Perkawinan Pertama 
(Sumber : Riskesdas 2010 dalam BKKBN 2014)

Semakin muda usia menikah, maka semakin rendah tingkat pendidikan yang dicapai oleh sang anak. Pernikahan anak seringkali menyebabkan anak tidak lagi bersekolah, karena kini ia mempunyai tanggungjawab baru, yaitu sebagai istri dan calon ibu, atau kepala keluarga dan calon ayah, yang diharapkan berperan lebih banyak mengurus rumah tangga maupun menjadi tulang punggung keluarga dan keharusan mencari nafkah.  Membangun rumah tangga di atas pondasi kesehatan mental yang rapuh, berbuntut tanda tanya besar, bagaimana seorang di usia yang seharusnya masih mendapat bimbingan dalam menjalani kehidupan, kebebasan dalam berekpresi sesuai tingkat kecerdasannya, dan memperoleh pendidikan untuk menjadi tunas, potensi, dan generasi penerus cita-cita perjuangan bangsa yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada masa depan, kemudian diberikan tanggungjawab dan kewajiban untuk menjadi suami-istri?

Secara umum, perkawinan dini ini tidak terlepas dari beberapa faktor yang mempengaruhi,  antara lain :
Alasan Ekonomi
Bagi sebagian masyarakat daerah terutama yang memiliki tingkat ekonomi menengah ke bawah, anak adalah beban berat yang harus ditanggung.  Oleh karena itu, mereka harus mencari solusi untuk meringankannya. Namun, solusi yang mereka ambil kemudian menjadi sebuah langkah yang tidak tepat yaitu dengan menikahkan anak perempuannya pada usia dini bahkan sangat dini.  Pernikahan seolah menjadi sarana pengalihan tanggungjawab dari orang tua kepada suami.


 Pergaulan Bebas

Kehamilan yang Tak diinginkan sebagai akibat dari Pergaulan Bebas
Fenomena pernikahan pada usia anak di daerah lainya tidaklah jauh berbeda mengingat fakta perilaku seksual remaja yang melakukan hubungan seks pra-nikah sering berujung pada pernikahan dini.  Pengetahuan yang minim tentang agama, iman yang lemah, kurangnya pengetahuan tentang kesehatan reproduksi sehingga terjadi dekadensi moral pada remaja sementara pergaulan tak terkontrol seringkali menyebabkan Kehamilan Tak Diinginkan (KTD) yang akhirnya mengakibatkan terjadinya Maried By Accident (MBA) atau pernikahan karena ‘kecelakaan’. Pernikahan seperti ini sangat rentan terjadi perceraian karena ketidaksiapan kedua belah pihak untuk menikah apalagi memiliki anak.


Pemalsuan Identitas dalam Pernikahan

Selain faktor-faktor di atas, adanya oknum yang turut andil dalam proses legalisasi pernikahan dini dengan membuat surat keterangan palsu diantaranya pencantuman usia yang ditambah pada Kartu Tanda Penduduk (KTP). Seperti yang terjadi pada Eneng (diawal tulisan) ketika menikah tercantum usia 19 tahun pada KTP nya, padahal usia sebenarnya baru 13 tahun.


Apapun alasannya pernikahan dini bukan merupakan suatu solusi terakhir atas segala permasalahan yang terjadi, karena pernikahan dini pastinya akan lebih banyak membawa dampak buruk selain bagi pelaku juga bagi lingkungan sekitar.  Menikah di usia muda menyebabkan banyak hal negatif, adapun dampak dari pernikahan dini adalah :


a.    Dampak Fisik atau Biologis

Anak secara biologis alat reproduksinya masih dalam proses menuju kematangan sehingga belum siap untuk melakukan hubungan seks dengan lawan jenisnya, apalagi jika sampai hamil kemudian melahirkan.  Dari aspek kesehatan, ketidaksiapan organ-organ tubuh perempuan untuk hamil dan melahirkan seorang bayi telah meningkatkan resiko kematian ibu dan anak.  Pada aspek ini seringkali disertai dengan berbagi kemungkinan praktek kriminalitas berupa kasus aborsi yang merajalela.

b.    Dampak Psikologis

Selain itu, dampak psikologis mereka yang menikah pada usia muda atau di bawah 20 tahun, secara mental belum siap menghadapi perubahan pada saat kehamilan.  Terutama adanya perubahan peran, yakni belum siap menjalankan peran sebagai ibu dan menghadapi masalah rumah tangga yang seringkali melanda kalangan keluarga yang baru menikah.  Masalah psikologis berupa kesehatan mental pelaku yang sekaligus cenderung sebagai korban berpengaruh besar bagi kelangsungan rumah tangga mereka, yang diamanatkan UU Perkawinan. Yaitu menciptakan sebuah keluarga bahagia dan kekal disertai kewajiban dan tanggung jawab yang besar pula.


c.      Dampak Sosial

Dampak sosial dari pernikahan dini adalah mengurangi harmonisasi
Kasus KDRT dalam Rumah Tangga
keluarga serta meningkatnya kasus perceraian.  Hal ini disebabkan emosi yang masih labil, gejolak darah muda dan cara pola pikir yang belum matang. Di samping ego yang tinggi dan kurangnya tanggungjawab dalam kehidupan rumah tangga sebagai suami-istri.
  Keterasingan akibat masalah psikologi sosial pasangan nikah di bawah umur ini berdampak pada kemampuan adaptasinya, kedewasaannya, cara pandangnya, gaya komunikasinya, dan tentu saja kualitas daya intelektualnya.


d.    Dampak Perilaku Seksual Menyimpang

Adanya perilaku seksual yang menyimpang terutama yang sekarang ini sering diberitakan diberbagai media yaitu perilaku yang gemar berhubungan seks dengan anak-anak yang dikenal dengan istilah pedofilia. Perbuatan ini jelas merupakan tindakan ilegal (menggunakan seks anak), namun dikemas dengan perkawinan seakan-akan menjadi legal.  


e.     Terputusnya Akses Pendidikan

Walau berdasarkan data empiris ada pasangan yang menikah dini tetapi berhasil melanjutkan pendidikkannya dengan sukses, namun mayoritas pasangan yang menikah dini tidak mampu melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi terutama di daerah-daerah. Hanya 5,6 persen yang masih melanjutkan.


Selain beberapa dampak yang disebutkan di atas, pasangan yang menikah di usia dini pastinya akan menghadapi masalah kesulitan ekonomi, yakni ketidaksiapan mereka memenuhi kebutuhan dasar hidupnya, pada saat angka kemiskinan terus melonjak.  Data Badan Pusat Statistik menyebutkan jumlah pengangguran meningkat  didominasi oleh kaum wanita dibandingkan pria.  Berlanjut pada tingginya angka perceraian di kalangan pasangan di bawah umur yang berbuntut pada praktek prostitusi terselubung maupun terbuka.

Secara hukum perkawinan usia anak dilegitimasi oleh Undang-undang R.I Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Undang-undang ini memperbolehkan anak berusia 16 tahun untuk menikah, seperti disebutkan dalam pasal 7 ayat 1, Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai 19 (sembilanbelas) tahun, dan pihak wanita sudah mencapai 16 (enambelas) tahun.” Pasal 26 UU R.I Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, orang tua diwajibkan melindungi anak dari perkawinan dini, tetapi pasal ini, sebagaimana UU Perkawinan, tanpa ketentuan sanksi pidana sehingga ketentuan tersebut nyaris tak ada artinya dalam melindungi anak-anak dari ancaman pernikahan dini.

Tingginya angka pernikahan dini, menunjukkan bahwa pemberdayaan law enforcement dalam hukum perkawinan masih rendah. Apapun alasannya, masa muda adalah masa yang sangat indah untuk dilewatkan, dengan hal-hal yang positif. Masa muda adalah waktu untuk membangun emosi, kecerdasan dan fisik. Ketiganya merupakan syarat dalam menjalani kehidupan yang lebih layak pada masa depan. Fenomena tersebut menuntut perhatian semua pihak untuk memperhatikan masa depan anak sebagai generasi yang akan melanjutkan pembangunan bangsa dan negara. Haruskah direnggut kemerdekaan anak hanya karena sebuah ketakutan? Benarkah pernikahan di bawah umur satu-satunya solusi atas kekhawatiran yang ada?  Pertanyaan ini dapat di jawab dengan sikap ilmiah dan bijaksana.

C.           Penutup

Terlepas dari apa yang melatarbelakanginya, pernikahan tentu mengandung konsekuensi bagi pelakunya dan membawa dampak positif maupun negatif.  Oleh karenanya daripada melakukan pernikahan dini, jauh lebih baik untuk terlebih dahulu mempersiapkan diri agar nantinya ketika memutuskan untuk menikah dapat menjalani kehidupan perkawinan secara sehat dan penuh rasa tanggung jawab. Pada pernikahan yang dilakukan ketika pasangan telah dewasa, tidak saja secara fisik, namun juga secara mental, ekonomi, dan sosial, mereka telah siap menerima konsekuensi dari hubungan seksual secara sehat dan bertanggung jawab. Pasangan suami istri dapat saling menyayangi dan mendukung untuk membesarkan dan merawat anak-anak mereka serta menjalankan peran sebagai orang tua yang mempersiapkan lahirnya generasi mendatang.
Yang paling penting adalah orang tua harus disadarkan untuk tidak mengizinkan serta tidak menikahkan anaknya dalam usia dini, di samping juga harus memahami peraturan perundangundangan untuk melindungi anak. Masyarakat yang peduli terhadap perlindungan anak dapat mengajukan class-action kepada pelaku, melaporkan kepada Komisi Perlindungan Anak Indonesai (KPAI), LSM peduli anak lainnya dan para penegak hukum harus melakukan penyelidikan dan penyidikan untuk melihat adanya pelanggaran terhadap perundangan yang ada dan bertindak terhadap pelaku.

Pernikahan bukan akhir sebuah masalah, namun merupakan awal dari sebuah perjalanan hidup yang penuh dengan godaan dan ujian. Banyak hal yang harus dipersiapkan oleh seseorang sebelum melangkah ke jenjang tersebut. Mental yang kuat, keilmuan tentang agama maupun tentang kesehatan reproduksi harus dimiliki baik oleh pasangan maupun orang tuanya, sebagai bekal keterampilan dalam mengurus rumah tangga juga harus diperhatikan. 


Salah satu contoh untuk meredam tren nikah dini, adanya program Generasi Berencana (Genre) yang digencarkan oleh BKKBN.  BKKBN sebagai lembaga pemerintahan juga turut andil untuk mengintensifkan kampanye ke sekolah-sekolah, kampus, pesantren hingga ke organisasi kepemudaan. Seperti Genre Goes to School, program yang digagas BKKBN untuk mengajak remaja menjauhi seks bebas, narkoba dan HIV/AIDS.  Program ini berisi sosialisasi tentang pengetahuan mengenai keluarga berencana yang menyasar kalangan siswa SMA dan mahasiswa.  Dimana yang memberikan pengetahuan adalah teman-teman seusianya atau duta Genre, alasan ini dipilih karena kecenderungan mereka mau lebih mendengarkannya.  Selain itu penting dilakukannya sosialisasi kepada masyarakat luas untuk merefleksikan kembali hakikat pernikahan serta sosialisasi UU Perkawinan sebagai antisipasi dari pernikahan dini.  


Say NO to Pernikahan Dini, Sukses MASA DEPAN
Selain itu perbaikan di bidang transportasi dan komunikasi membuka kesempatan bagi para pemuda, bahkan yang tinggal di daerah-daerah terpencil mengenal orang-orang dengan tradisi dan nilai-nilai kehidupan yang berbeda, walaupun dunia semakin urban dan industrialisasi menawarkan godaan kemajuan dan kesempatan. Tetapi, tanpa pendidikan dan latihan yang memadai, para remaja tidak akan mampu memenuhi tuntutan lingkungan pekerjaan modern, dan tanpa bimbingan orang tua, masyarakat serta aparat pemerintahan, para remaja mungkin tidak siap untuk menilai hasil dari keputusan yang diambil mereka.  Inilah tugas pemerintah untuk menyediakan pendidikan dasar yang dapat diperoleh secara luas.  Perkawinan menandai sebuah transisi penting di dalam kehidupan individu, dan jadwal peristiwa itu dapat mendatangkan dampak yang dramatis terhadap masa depan seorang pemuda.  Sehingga kita semua harus turut andil menjadi bagian dari peristiwa besar ini, membawa generasi muda untuk lebih sukses dalam pendidikannya sehingga dapat memajukan Bangsa dan Negaranya.