Pengaruh Pertambahan Penduduk terhadap Kehidupan Kualitas Hidup
Manusia, Kehidupan Sosial, Budaya dan Agama
Oleh :
Setyawati Prihatini
A.
Pendahuluan
Sisi lain dari
kemajuan zaman dan teknologi informasi yang menjulang langit, justru membawa
konsekuensi tersendiri. Seiring dengan itu, pengetahuan kita tentang hal-hal
yang tak masuk akal pun kian muncul ke permukaan. Diantaranya, fenomena
perkawinan di bawah umur (pernikahan dini), ternyata masih marak terjadi. Apapun
pemantiknya, nikah di bawah umur adalah fenomena sosial budaya yang
tidak masuk akal karena pelaku sekaligus korban, sesuai peraturan perundangan
masih dalam kategori usia anak-anak. Sekaligus
melestarikan pelanggaran hak untuk mendapatkan pendidikan, berpikir
dan berekspresi, hak untuk menyatakan pendapat dan didengar
pendapatnya, hak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul
dengan teman sebaya, bermain dan berkreasi.
Anak-anak sebagai Korban sekaligus Pelaku pada Pernikahan Dini. |
Anak-anak seringkali
terkurung berbagai justifikasi perkawinan bawah umur yang datang dari orangtua,
tokoh agama, tokoh masyarakat adat, dan tak jarang juga atas inisiatif pelaku
sendiri. Orang
tua bisa berdalih meringankan beban tanggungjawab ekonomi yang mendorong terjadinya
pernikahan tersebut. Ketiadaan kesadaran
hukum yang kemudian mentradisi juga menjadikan pernikahan di bawah umur suatu
solusi. Pergaulan bebas yang berbuah kehamilan di luar nikah, misalnya,
menjadikan perkawinan sebagai cara untuk menutup aib keluarga.
Menunda Usia Pernikahan agar Anak dapat mengenyam Pendidikan yang Lebih Tinggi |
Padahal umur perkawinan pertama merupakan salah satu
indikator kependudukan terkait dengan fertilitas. Umur perkawinan pertama
adalah indikator dimulainya seorang perempuan berpeluang untuk hamil dan
melahirkan. Dengan demikian perkawinan
pada usia muda akan mempunyai rentang waktu untuk hamil dan melahirkan dalam
waktu yang lebih panjang dibandingkan pada perempuan yang menikah pada usia
yang lebih tua. Dari berbagai penelitian
juga didapatkan bahwa terdapat korelasi antara tingkat pendidikan dan usia saat
menikah, semakin tinggi usia anak saat menikah maka pendidikan anak relatif
lebih tinggi dan demikian pula sebaliknya. Pernikahan di usia dini menurut
penelitian UNICEF tahun 2006 tampaknya berhubungan pula dengan derajat pendidikan
yang rendah. Menunda usia pernikahan merupakan salah satu cara agar anak dapat
mengenyam pendidikan lebih tinggi.
B.
Isi
Berawal dari percakapan ringan tak sengaja dengan seorang
perempuan yang ternyata usianya jauh lebih muda dari dugaan saya, terbuka fakta
yang membuat saya sempat terdiam. Di zaman yang sudah modern saat ini terdapat
realita miris yang terjadi pada perempuan-perempuan di daerah yaitu menjadi
janda di usia yang masih sangat dini. Sebut saja Eneng, usianya yang baru
menginjak 20 tahun sudah memiliki seorang anak berusia 7 tahun dan saat ini
sedang dalam proses bercerai dari suaminya yang berusia 25 tahun. Yang membuat
saya tercengang, dia tidak terbebani dengan stigma statusnya nanti menjadi
janda.
Pernikahan dini secara umum berarti pernikahan yang
dilakukan pada usia belia di bawah batas usia minimum melakukan perkawinan yang
telah ditentukan undang-undang. Pernikahan
dini merupakan salah satu fenomena sosial yang banyak terjadi diberbagai tempat
di tanah air, baik di perkotaan maupun di perdesaan. Berdasarkan data Badan Koordinasi Keluarga Berencana
Nasional (BKKBN), rasio pernikahan dini di perkotaan pada 2012 adalah 26
dari 1.000 perkawinan. Pada 2013, rasionya naik menjadi 32 dari 1.000
pernikahan. Sementara itu, di perdesaan rasio pernikahan usia dini turun dari
72 per 1.000 pernikahan pada 2012 menjadi 67 per 1.000 pernikahan pada 2013. Menurut Diskominfo Provinsi Kaltim pada tahun
2014 provinsi
dengan usia perkawinan kurang dari 15 tahun tertinggi adalah Kalimantan Selatan
9%, Jawa barat 7,5% serta Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah masing-masing
7% dan Banten 6,5%. Untuk usia 15-19 tahun, Kalteng 52,1% dan Jawa Barat 50,2%.
Tertinggi berikutnya Kalsel 48,4%, Bangka Belitung 47,9% dan Sulawesi Tengah
46,3%.
Persentase Perempuan Usia 10-59 tahun menurut Umur
Perkawinan Pertama
(Sumber : Riskesdas 2010 dalam BKKBN 2014)
|
Semakin muda usia menikah, maka semakin
rendah tingkat pendidikan yang dicapai oleh sang anak. Pernikahan anak
seringkali menyebabkan anak tidak lagi bersekolah, karena kini ia mempunyai
tanggungjawab baru, yaitu sebagai istri dan calon ibu, atau kepala keluarga dan
calon ayah, yang diharapkan berperan lebih banyak mengurus rumah tangga maupun
menjadi tulang punggung keluarga dan keharusan mencari nafkah. Membangun rumah
tangga di atas pondasi kesehatan mental yang rapuh, berbuntut tanda tanya
besar, bagaimana seorang di usia yang seharusnya masih
mendapat bimbingan dalam menjalani kehidupan, kebebasan dalam berekpresi
sesuai tingkat kecerdasannya, dan memperoleh pendidikan untuk menjadi tunas,
potensi, dan generasi penerus cita-cita perjuangan bangsa yang menjamin
kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada masa depan, kemudian diberikan
tanggungjawab dan kewajiban untuk menjadi suami-istri?
Secara umum,
perkawinan dini ini tidak terlepas dari beberapa faktor yang mempengaruhi, antara lain :
Alasan Ekonomi
Bagi sebagian masyarakat daerah terutama yang memiliki
tingkat ekonomi menengah ke bawah, anak adalah beban berat yang harus
ditanggung. Oleh karena itu, mereka
harus mencari solusi untuk meringankannya. Namun, solusi yang mereka ambil
kemudian menjadi sebuah langkah yang tidak tepat yaitu dengan menikahkan anak
perempuannya pada usia dini bahkan sangat dini.
Pernikahan seolah menjadi sarana pengalihan tanggungjawab dari orang tua
kepada suami.
Pergaulan Bebas
Kehamilan yang Tak diinginkan sebagai akibat dari Pergaulan Bebas |
Fenomena pernikahan
pada usia anak di daerah lainya tidaklah jauh berbeda mengingat fakta perilaku
seksual remaja yang melakukan hubungan seks pra-nikah sering berujung pada
pernikahan dini. Pengetahuan yang minim tentang agama,
iman yang lemah, kurangnya pengetahuan tentang kesehatan reproduksi sehingga
terjadi dekadensi moral pada remaja sementara pergaulan tak terkontrol
seringkali menyebabkan Kehamilan Tak Diinginkan (KTD) yang akhirnya
mengakibatkan terjadinya Maried
By Accident (MBA) atau pernikahan karena ‘kecelakaan’. Pernikahan
seperti ini sangat rentan terjadi perceraian karena ketidaksiapan kedua belah
pihak untuk menikah apalagi memiliki anak.
Pemalsuan Identitas dalam Pernikahan
Selain faktor-faktor di atas, adanya oknum yang turut andil
dalam proses legalisasi pernikahan dini dengan membuat surat keterangan palsu
diantaranya pencantuman usia yang ditambah pada Kartu Tanda Penduduk (KTP). Seperti
yang terjadi pada Eneng (diawal tulisan) ketika menikah tercantum usia 19 tahun
pada KTP nya, padahal usia sebenarnya baru 13 tahun.
Apapun alasannya pernikahan dini bukan merupakan suatu
solusi terakhir atas segala permasalahan yang terjadi, karena pernikahan dini
pastinya akan lebih banyak membawa dampak buruk selain bagi pelaku juga bagi
lingkungan sekitar. Menikah
di usia muda menyebabkan banyak hal negatif, adapun dampak dari pernikahan dini adalah :
a. Dampak Fisik atau Biologis
Anak secara biologis alat reproduksinya masih dalam proses
menuju kematangan sehingga belum siap untuk melakukan hubungan seks dengan
lawan jenisnya, apalagi jika sampai hamil kemudian melahirkan. Dari aspek
kesehatan, ketidaksiapan organ-organ tubuh perempuan untuk hamil dan
melahirkan seorang bayi telah meningkatkan resiko kematian ibu
dan anak. Pada aspek ini seringkali
disertai dengan berbagi kemungkinan praktek kriminalitas berupa kasus aborsi
yang merajalela.
b. Dampak Psikologis
Selain itu, dampak
psikologis mereka yang menikah pada usia muda atau di bawah 20 tahun, secara
mental belum siap menghadapi perubahan pada saat kehamilan. Terutama adanya perubahan peran, yakni belum siap menjalankan peran sebagai ibu
dan menghadapi masalah rumah tangga yang seringkali melanda kalangan keluarga
yang baru menikah. Masalah psikologis
berupa kesehatan mental pelaku yang sekaligus cenderung sebagai korban
berpengaruh besar bagi kelangsungan rumah tangga mereka, yang
diamanatkan UU Perkawinan. Yaitu menciptakan sebuah keluarga bahagia
dan kekal disertai kewajiban dan tanggung jawab yang besar pula.
c. Dampak Sosial
Dampak sosial dari
pernikahan dini adalah mengurangi harmonisasi
keluarga serta meningkatnya kasus
perceraian. Hal ini disebabkan emosi
yang masih labil, gejolak darah muda dan cara pola pikir yang belum matang. Di
samping ego yang tinggi dan kurangnya tanggungjawab dalam kehidupan rumah
tangga sebagai suami-istri. Keterasingan
akibat masalah psikologi sosial pasangan nikah di bawah umur ini berdampak
pada kemampuan adaptasinya, kedewasaannya, cara pandangnya, gaya komunikasinya,
dan tentu saja kualitas daya intelektualnya.
Kasus KDRT dalam Rumah Tangga |
d. Dampak Perilaku Seksual Menyimpang
Adanya perilaku seksual yang menyimpang terutama yang
sekarang ini sering diberitakan diberbagai media yaitu perilaku yang gemar
berhubungan seks dengan anak-anak yang dikenal dengan istilah pedofilia. Perbuatan ini jelas merupakan
tindakan ilegal (menggunakan seks anak), namun dikemas dengan perkawinan
seakan-akan menjadi legal.
e. Terputusnya Akses Pendidikan
Walau berdasarkan data empiris ada pasangan yang menikah
dini tetapi berhasil melanjutkan pendidikkannya dengan sukses, namun mayoritas
pasangan yang menikah dini tidak mampu melanjutkan pendidikannya ke jenjang
yang lebih tinggi terutama di daerah-daerah. Hanya 5,6 persen yang masih
melanjutkan.
Selain beberapa
dampak yang disebutkan di atas, pasangan yang menikah di usia dini pastinya
akan menghadapi masalah kesulitan ekonomi, yakni ketidaksiapan mereka memenuhi
kebutuhan dasar hidupnya, pada saat angka kemiskinan terus melonjak. Data Badan Pusat Statistik menyebutkan jumlah
pengangguran meningkat didominasi oleh
kaum wanita dibandingkan pria.
Berlanjut pada tingginya angka perceraian di kalangan pasangan di bawah
umur yang berbuntut pada praktek prostitusi terselubung maupun terbuka.
Secara hukum
perkawinan usia anak dilegitimasi oleh Undang-undang R.I Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan. Undang-undang ini memperbolehkan anak berusia 16 tahun
untuk menikah, seperti disebutkan dalam pasal 7 ayat 1, “Perkawinan hanya
diizinkan jika pihak pria sudah mencapai 19 (sembilanbelas) tahun, dan pihak
wanita sudah mencapai 16 (enambelas) tahun.” Pasal 26 UU R.I Nomor 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak, orang tua diwajibkan melindungi anak dari
perkawinan dini, tetapi pasal ini, sebagaimana UU Perkawinan, tanpa ketentuan
sanksi pidana sehingga ketentuan tersebut nyaris tak ada artinya dalam
melindungi anak-anak dari ancaman pernikahan dini.
Tingginya angka
pernikahan dini, menunjukkan bahwa pemberdayaan law enforcement dalam
hukum perkawinan masih rendah. Apapun alasannya, masa muda adalah masa yang
sangat indah untuk dilewatkan, dengan hal-hal yang positif. Masa muda
adalah waktu untuk membangun emosi, kecerdasan dan fisik. Ketiganya merupakan
syarat dalam menjalani kehidupan yang lebih layak pada masa depan. Fenomena
tersebut menuntut perhatian semua pihak untuk memperhatikan masa depan anak
sebagai generasi yang akan melanjutkan pembangunan bangsa dan negara. Haruskah direnggut
kemerdekaan anak hanya karena sebuah ketakutan? Benarkah pernikahan di bawah
umur satu-satunya solusi atas kekhawatiran yang ada? Pertanyaan ini dapat di jawab dengan sikap
ilmiah dan bijaksana.
C.
Penutup
Terlepas dari apa yang melatarbelakanginya, pernikahan tentu mengandung konsekuensi bagi pelakunya dan membawa dampak positif maupun negatif. Oleh karenanya daripada melakukan pernikahan dini, jauh lebih baik untuk terlebih dahulu mempersiapkan diri agar nantinya ketika memutuskan untuk menikah dapat menjalani kehidupan perkawinan secara sehat dan penuh rasa tanggung jawab. Pada pernikahan yang dilakukan ketika pasangan telah dewasa, tidak saja secara fisik, namun juga secara mental, ekonomi, dan sosial, mereka telah siap menerima konsekuensi dari hubungan seksual secara sehat dan bertanggung jawab. Pasangan suami istri dapat saling menyayangi dan mendukung untuk membesarkan dan merawat anak-anak mereka serta menjalankan peran sebagai orang tua yang mempersiapkan lahirnya generasi mendatang.
Yang paling penting adalah
orang tua harus disadarkan untuk tidak mengizinkan serta tidak menikahkan anaknya
dalam usia dini, di samping juga harus memahami peraturan perundangundangan
untuk melindungi anak. Masyarakat yang peduli terhadap perlindungan anak dapat
mengajukan class-action kepada
pelaku, melaporkan kepada Komisi Perlindungan Anak Indonesai (KPAI), LSM peduli
anak lainnya dan para penegak hukum harus melakukan penyelidikan dan penyidikan
untuk melihat adanya pelanggaran terhadap perundangan yang ada dan bertindak
terhadap pelaku.
Pernikahan bukan akhir
sebuah masalah, namun merupakan awal dari sebuah perjalanan hidup yang penuh
dengan godaan dan ujian. Banyak hal yang harus dipersiapkan oleh seseorang
sebelum melangkah ke jenjang tersebut. Mental yang kuat, keilmuan tentang agama
maupun tentang kesehatan reproduksi harus dimiliki baik oleh pasangan maupun
orang tuanya, sebagai bekal keterampilan dalam mengurus rumah tangga juga harus
diperhatikan.
Salah satu contoh untuk meredam tren nikah dini, adanya program
Generasi Berencana (Genre) yang digencarkan oleh BKKBN. BKKBN sebagai lembaga pemerintahan juga turut
andil untuk
mengintensifkan kampanye ke sekolah-sekolah, kampus, pesantren hingga ke
organisasi kepemudaan. Seperti Genre Goes
to School, program yang digagas BKKBN untuk mengajak remaja menjauhi seks
bebas, narkoba dan HIV/AIDS. Program
ini berisi sosialisasi tentang pengetahuan mengenai keluarga berencana yang
menyasar kalangan siswa SMA dan mahasiswa.
Dimana yang memberikan pengetahuan adalah teman-teman seusianya atau
duta Genre, alasan ini dipilih karena kecenderungan mereka mau lebih
mendengarkannya. Selain itu penting dilakukannya
sosialisasi kepada masyarakat luas untuk merefleksikan kembali hakikat
pernikahan serta sosialisasi UU Perkawinan sebagai antisipasi dari pernikahan
dini.
Say NO to Pernikahan Dini, Sukses MASA DEPAN |
Selain itu perbaikan di bidang transportasi dan
komunikasi membuka kesempatan bagi para pemuda, bahkan yang tinggal di
daerah-daerah terpencil mengenal orang-orang dengan tradisi dan nilai-nilai
kehidupan yang berbeda, walaupun dunia semakin urban dan industrialisasi
menawarkan godaan kemajuan dan kesempatan. Tetapi, tanpa pendidikan dan latihan
yang memadai, para remaja tidak akan mampu memenuhi tuntutan lingkungan pekerjaan
modern, dan tanpa bimbingan orang tua, masyarakat serta aparat pemerintahan,
para remaja mungkin tidak siap untuk menilai hasil dari keputusan yang diambil
mereka. Inilah tugas pemerintah untuk
menyediakan pendidikan dasar yang dapat diperoleh secara luas. Perkawinan menandai sebuah transisi penting
di dalam kehidupan individu, dan jadwal peristiwa itu dapat mendatangkan dampak
yang dramatis terhadap masa depan seorang pemuda. Sehingga kita semua harus turut andil menjadi
bagian dari peristiwa besar ini, membawa generasi muda untuk lebih sukses dalam
pendidikannya sehingga dapat memajukan Bangsa dan Negaranya.
nice info.. dilanjut y mbak e ^_^
BalasHapusTerima Kasih kak Naja sudah berkunjung ke Blog Setya ^^ ayay Captain :D
HapusMenarik k infox. D.tunggu blog slnjutx y k :F
BalasHapusTerima Kasih Dian Vita sudah berkunjung :) siaaaaaap.... hhee
HapusKenapa gk pake alat kontrasepsi aja? haha..
BalasHapusterima kasih sarannya kakak :) disini saya sedang membahas mengenai bagaimana pengaruh pernikahan dini terhadap kehidupan sosial, agama dan budaya kita... Alat kontrasepsi juga bukan sembarang digunakan untuk menunda kehamilan... tentunya digunakan oleh orang-orang yang sudah dewasa...
Hapusdi blog ini saya membahas, maraknya terjadi pernikahan dini dikalangan masyarakt kita. terima kasih atas sarannya :) maybe next saya akan mebahas bagaimana alat kontrasespsi bertujuan untuk pengendalian laju penduduk.
terima kasih kakak masukannya ^^
nice info sist,, tengok ke tema,, sedikit saran content yang dipublish sedikit kurang mengkaji dari segi agama. ^_^.. terkadang apa yang dianggap manusia tidak baik, sesungguhnya di agama sangat dianjurkan.. hehehee.. over all,, very nice...
BalasHapusNur Halimah : Terima kasih kakak sudah berkunjung ^^ hhe.. terima kasih atas sarannya :) kedepannya akan lebih saya perhatikan lagii. terima kasih :))
Hapusnice info :D mungkin warna fontnya aja yang sdikit kurang eye catching :D overall infonya mendalam dan jelas, semoga anak muda bisa lebih memkirkan matang2 mengenai pernikahan dini
BalasHapushhe, terima kasih Nurliana atas sarannya :) hhe.. pemilihan warna memang sengaja karena tujuan pembacanya adalah anak2 remaja, (*lah kok pink?? hehehe) biar mereka memahaminya ga boring :) tapi terima kasih yaaa sarannya :))
Hapussiaaap !!! pastinya.. semoga anak muda lebih memahami agar lebih mementingkan pendidikan dan masa depan mereka. aamiin
Tulisan yg melihat ketidakpatutan pernikahan dini dari satu sisi sosial kemasyarakatan. Baik jika melihat dr sisi ini. Semoga jd pembuka pemahaman masyarakat akan efek dr pernikahan dini.
BalasHapusTerima Kasih pak Dedy Irawan ^^
Hapussiaap, temanya memang dipilih mengenai pernikahan dini karena selama ini masyarakat selalu berfikir bahwa menikahkan anak diusia dini merupakan hal wajar dengan berbagai macam dalih, padahal pendidikan lebih utama..
aamiin.. selain masyarakat, semoga para generasi muda juga berfikir ulang untuk tidak menikah dini baik karena paksaan keadaan maupun karena pergaulan bebas..
harapannya memang semoga generasi muda semakin sadar apa saja efek dan dampak dari pernikahan dini :)
terima kasih pak telah berkunjung ke blog saya :))
nice blog .. cKUp inspiratIp.. mayan banyak juga anak2 sekarang yg nikah karena pergaulan... ckckck
BalasHapusTerima Kasih Khansa Zie ^^
Hapussemoga kesadaran masyarakat semakin meningkat mengenai peraturan perundang-undangan ttg pernikahan dan kesadaran masyarakat akan pendidikan lebih baik lagi. aamiin
Assalamu'alaikum wr.wb
BalasHapusbagus yh isi blognya. bisa menambah wawasan.. karena di tempat saya ckp byk bgt org tua yg nikahin anaknya, padahal masih SMP atau SMA, yaa alasannya ekonomi keluarga. miris juga ngeliatx.
smga semua org tua smkn sdr bhwa pendidikan jg penting.
trimss ats tulisanx
Wa'alaikumsalam wr. wb
Hapusterima kasih kakak Afifatul Khumairah sudah berkunjung ke blog Setya ^^
waah beneran masih ada nih? di daerah mana kalau boleh tau mbak?
Masyarakat yang peduli terhadap perlindungan anak dapat mengajukan class-action kepada pelaku, melaporkan kepada Komisi Perlindungan Anak Indonesai (KPAI), LSM peduli anak lainnya loooh.
aamiin. terima kasih. semoga manfaat :)
Wow nice info ...lanjutkan kata pak sby de..hihi
BalasHapusHehe terima kasih kak Danang Yud Wesa sudah mampir di blog saya ^^
HapusNice...semoga yg terlanjur menikah dini memang sudah dpt berpikir dg dewasa...
BalasHapusAamiin. memang itu harapan kita semua.. kita juga harus turut andil dalam masalh ini. terima kasih telah berkunjung ke blog saya
HapusSip bagus infonya.....
BalasHapusterima kasih banyak :)
HapusLike this banget... Menikah n membina rumah tangga, memang gak cukup modal cinta doang. Perlu kesiapan mental, emosional, kedewasaan serta yg gak kalah penting, kesiapan fnansial. Bukannya materialistis, tapi,mensejahterakan keluarga juga butuh dukungan finansial... Keep the spirit Tya....keep writing yaa
BalasHapusBenar sekali bu Ivone. Banyak remaja saat ini berfikir pendek mengenai makna pernikahan, sehingga menimbulkan banyak kasus perceraian.. padahal menikah tidak hanya masalah kesiapan finansial.
Hapushhe makasih bu Ivone :)
tidak adanya sindiran kritis dari lingkungan untuk sang anak tentang buruknya pernikahan dini merupakan faktor yg membuat anak berpikir bahwa nikah dini bukanlah masalah, jika saja lingkungan melakukan hal tersebut, mungkin mind set sang anak akan berubah, contoh : "ngapain nikah cepet2, uang aja msh mewek sama ortu", "mau ngasih makan anak org apa, ngasih makan perut sendiri aja blum bisa", "gak usah nikah lu kalo karir dan pendidikan lu msh sebatas buruh kasar, kasian pasangan lu ntar", itulah contoh seonggok sindiran kritis, sedikit kejam memang, tp hasilnya lebih baik, karena ada istilah "kekejaman akan membuatmu teratur dan lebih mudah diatur", karena beberapa org mungkin butuh sedikit kekejaman untuk dirubah, jika hukumnya sendiri tidak kejam (baca : tegas), bagaimana bisa masalahnya dapat teratasi . . . .
BalasHapussorry no offense, just arguing . . . :)
nice post . . . . keep blogging . . .
benar. selama ini masyarakat menganggap pernikhan dini hanyalah sesuatu yang wajar. makanya saya katakan di blog saya bahwa pernikhan dini juga sebagai akibat dari lingkungan sekitar mereka juga..
Hapusthank you sarannya.. dan terima kasih berkunjung ke blog saya ^^
Nice info tya...^_^
BalasHapusMaaf baru bisa baca...
Perhatian utama dalam kasus pernikahan dini lebih kepada didikan orang tua sih. Harapannya kalau kita beri pemahaman yg baik kepada orang tua bisa menekan angka pernikahan dini.
Sukses tya...buat tulisannya